Menurut International Cooperative Alliance (ICA, Aliansi Koperasi Internasional), Koperasi adalah perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi ekonomi, sosial, dan budaya bersama melalui perusahaan yang dimiliki bersama dan dikendalikan secara demokratis. Koperasi ini sebenarnya adalah badan hukum, izin usaha, atau model perusahaan? Bagaimana di Indonesia?
Badan Hukum Koperasi
Koperasi harus berbadan hukum itu sudah suatu keniscayaan mengingat koperasi adalah suatu perusahaan. Namun apakah suatu koperasi harus berbadan hukum koperasi? Jawabnya adalah tergantung dari peraturan perundangan tentang bentuk hukum perusahaan dari negara tempat koperasi itu didirikan dan beroperasi, serta tergantung dari keperluan para pihak yang mau bergabung dalam suatu perusahaan koperasi. Denmark tidak memiliki Undang-undang Perkoperasian dan tidak memiliki bentuk badan hukum koperasi. Tapi ada ribuan koperasi di Denmark, bahkan ada koperasi pertanian yang besar di Denmark, seperti Arla Foods (https://www.arla.com/), Danish Crown (https://www.danishcrown.com/global/) dan DLG (https://www.dlg.dk/). Arla Foods dinobatkan sebagai koperasi no. 10 (ranking 2020) terbesar di sektor pangan dunia dan no. 44 (ranking 2020) dan no. 47 (ranking 2021) terbesar dunia berdasarkan penjualan per tahun menurut World Cooperative Monitor 2022 dan 2023. Sementara itu, Danish Crown dinobatkan sebagai koperasi no. 53 (ranking 2020) dan no. 60 (ranking 2021) terbesar dunia. DLG dinobatkan sebagai koperasi no. 69 (ranking 2020) dan no. 64 (ranking 2021) terbesar dunia.
Amerika juga tidak memiliki UU Perkoperasian di tingkat nasional/federal. Ada beberapa negara bagian yang memiliki UU Perkoeprasian. Banyak koperasi di Amerika yang badan hukumnya adalah perusahaan berbasis saham (stock based company). Sementara Selandia Baru memiliki UU Perkoperasian, dan dalam UU tersebut disebutkan “koperasi adalah suatu perusahaan/perseroan, yang kegiatan pokoknya merupakan, dan dinyatakan dalam Anggaran Dasarnya sebagai kegiatan koperasi dan yang paling sedikit 60% hak suaranya dipegang oleh para pemegang saham yang bertransaksi.”
Izin Usaha Koperasi
Hingga saat ini masih banyak orang yang salah memahami bahwa “koperasi” adalah salah satu bentuk izin usaha. Koperasi boleh menjalankan kegiatan usaha apa pun, termasuk usaha simpan pinjam, dengan argumentasi bahwa usaha tersebut adalah hanya untuk “kalangan sendiri” alias transaksi usaha dilakukan terbatas hanya dengan para anggotanya.
Di Indonesia kesalahpahaman terjadi karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9/1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi Pasal 3 ayat 3 disebutkan “Pengesahan Akta Pendirian Koperasi Simpan Pinjam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku sebagai izin usaha.”
Kerancuan ini sudah diperbaiki melalui Permenkop No. 15/2015 tentang Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi yang Pasal 3 ayat (2)-nya menyebutkan, “Pengesahan akta pendirian Koperasi Simpan Pinjam diberikan dengan menerbitkan 2 (dua) dokumen yaitu dokumen pengesahan badan hukum dan dokumen ijin usaha simpan pinjam.” Dengan penerbitan dua dokumen ini sebagian besar pelaku koperasi baru memahami bahwa koperasi “hanyalah” badan hukum dan untuk melakukan suatu usaha memerlukan izin usaha dari pemerintah. Pada saat itu, pengesahan badan hukum koperasi dan penerbitkan izin usaha simpan pinjam oleh koperasi diterbitkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik, pengesahan koperasi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengesahan akta pendirian koperasi, perubahan anggaran dasar koperasi, serta pembubaran koperasi oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum (Pasal 14 ayat 2), sehingga Kementerian Koperasi & UKM (sekarang Kementerian Koperasi) tidak lagi memberi pengesahan badan hukum koperasi. Ini semakin memperjelas bahwa koperasi bukanlah izin usaha.
Dengan maraknya kasus koperasi simpan pinjam yang bankrut dan gagal membayar kembali uang simpanan dari para penyimpannya—yang mungkin memang bukan anggota atau hanya dicatat sebagai anggota—pemerintah memperkenalkan istilah koperasi close loop, yakni koperasi yang usaha simpan pinjam koperasi-nya “hanya” para anggotanya atau anggota koperasi lainnya sesuai izin usaha yang diterbitkan oleh Kemenkop; dan koperasi open loop, yakni Koperasi Jasa Keuangan—bukan Koperasi Simpan Pinjam—yang izin usahanya di sektor jasa keuangan diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan kebijakan ini semakin jelas bahwa koperasi “hanyalah” suatu badan hukum yang harus mendapatkan izin usaha ketika akan memulai suatu usaha.
Model Perusahaan Koperasi
Satu hal yang sangat penting, namun justru sering kali dilupakan dalam banyak diskursus tentang koperasi di Indonesia adalah bahwa “koperasi” itu perrtama-tama dan terutama adalah model perusahaan. Prinsip utama koperasi adalah peran ganda anggota koperasi, yaitu Anggota Koperasi adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi (UU Perkoperasian No. 25/1992 Pasal 17 ayat 1). Koperasi adalah perusahaan yang dimiliki oleh para penguna jasanya. Maksudnya adalah bahwa yang boleh menjadi pemilik perusahaan koperasi adalah para pengguna jasanya. Maksud dan tujuan (raison d’être, reason for being) pendirian perusahaan koperasi adalah untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi sosial, ekonomi dan budaya bersama dari para pihak yang memerlukan layanan usaha dari perusahaan tersebut. Perusahaan koperasi didirikan dan dijalankan bukan pertama-tama untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi para investor yang tidak ikut menggunakan jasa perusahaan koperasi, namun pertama-tama untuk menyediakan layanan usaha yang dibutuhkan secara efisien karena para pemiliknya adalah sekaligus pengguna jasanya. Jadi yang lebih penting adalah tercapainya kepentingan dan dan aspirasi sosial, ekonomi dan budaya bersama dari para angpta pengguna jasa dari perusahaan koperasi dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan layanan usaha yang disedikan oleh perusahaan-milik-investor yang tujuannya adalah mencari laba sebesar-besarnya. Kalau sudah mencapai tujuan tersebut, barulah koperasi diharapkan membukukan laba untuk ditahan dan meningkatkan ekuitas koperasi yang nilainya harus dipertahankan seiring dengan inflasi. Bahkan di beberapa negara yang tidak memberi fasilitas perpajakan khusus pada koperasi, ada juga yang mengatur agar koperasinya tidak membukukan laba atau bahkan merugi, agar pajak penghasilan badan yang dibayarkan bisa minimum. Yang penting semua anggotanya sudah mendapatkan manfaat yang nilai ekonomisnya lebih tinggi dari pada laba yang dibukukan oleh koperasi.
Bagaimana di Indonesia?
Pemahaman umum di Indonesia adalah bahwa koperasi haruslah berbadan hukum koperasi. Hingga saat ini belum ada perusahaan berbadan hukum bukan-koperasi yang menyatakan identitasnya sebagai koperasi, sebagai perusahaan yang dimiliki oleh para pengguna jasanya. Ini tidak terlepas dari cara pandang pemerintah, khususnya Kementerian Koperasi, yang secara regulasi hanya dapat mengurus koperasi sebagaimana disebut dalam UU Perkoperasian No. 25/1992, yaitu Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Bahkan koperasi yang memiliki anak perusahaan dengan bentuk hukum Perseroan Terbatas kadang dicurigai sebagai bukan perusahaan koperasi lagi. Padahal banyak pejabat pemerintah yang sering menggunakan koperasi di luar negeri, seperti FrieslandCampina, Fonterra, Land O’Lakes, dan sebagainya yang badan hukumnya bukan koperasi atau memiliki banyak anak perusahaan yang bentuk badan hukumnya perseroan terbatas (perusahaan berbasis saham). Di banyak negara yang koperasinya maju dan berkembang, pemerintah dan masyarakatnya lebih menekankan dan memandang koperasi sebagai model perusahaan (model of enterprises), yaitu perusahaan yang dimiliki dan diurus (governed) oleh para pengguna jasanya. Sehingga yang dilihat bukan hanya bentuk badan hukumnya, melainkan juga transaksi yang terjadi antara perusahaan koperasi dan pengguna jasanya. Bahkan Selandia Baru secara eksplisit menyebutkan dalam UU Perkoperasiannya bahwa perusahaan, walau badan hukumnya koperasi, setiap tahun harus menyatakan diri dalam Laporan Tahunannya apakah identitas perusahaan mereka masih koperasi, yakni paling sedikit 60% pemegang hak suara dalam Rapat Umum Pemilik Perusahaannya adalah para pemegang saham (pemilik) yang bertransaksi.