Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi?

Selama sepuluh tahun terakhir banyak Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi yang memiliki Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi di Indonesia mengalami permasalahan hingga mengalami kebankrutan. Salah satu kasus besar yang terkenal adalah Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Inti/Cipta yang merugikan nasabah penabungnya sebesar Rp 16 triliun (https://www.kompas.id/baca/polhuk/2024/01/18/uang-rampasan-ksp-indosurya-siap-dibagikan-ke-korban). Masih banyak koperasi lain yang masih dalam proses hukum seperti KSP Sejahtera Bersama (https://www.liputanbogor.com/ratusan-anggota-ksp-sb-bersatu-gelar-aksi-di-pn-bogor-tuntut-pengembalian-aset-yang-di-sita/).

Namun ternyata situasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. “Koperasi Simpan Pinjam Nepal Menghadapi Krisis: Pihak Berwenang Meluncurkan Reformasi Komprehensif,” demikian judul berita Taskar News, 12 Juli 2024 (https://en.taksarnews.com/2024/07/296/). Pada 14 September 2024 Sahakari Khabar menurunkan berita berjudul, “Pemerintah Memperketat Pengawasan Karena Koperasi Gagal Membayar Simpanan Penabung Nepal.” (https://www.sahakarikhabar.com/government-tightening-oversight-as-failing-cooperatives-imperil-savings-of-nepalese-depositors/). Pada 10 November 2024, The Rising Nepal menulis, “Apa yang salah dengan koperasi di Nepal?” (https://risingnepaldaily.com/news/51664)

Sementara pemerintah dan parlemen Vietnam mengamandemen UU Perkoperasiannya dengan memberlakukan UU Perkoperasian No. 17/2023/QH15 yang mencabut UU Perkoperasian No. 23/2012/QH13. Yang menarik dalam UU Perkoperasian No. 17/2023/QH15 ditegaskan bahwa “Koperasi dan koperasi sekunder wajib menghentikan kegiatan pemberian kredit internal yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Perkoperasian No. 23/2012/QH13 mulai tanggal 01 September 2023. Terkait dengan perjanjian kredit internal yang ditandatangani sebelum tanggal 01 September 2023, para pihak yang mengadakan perjanjian tetap melaksanakan hak dan kewajibannya berdasarkan perjanjian yang telah ditandatangani, tetapi tidak memperpanjang perjanjian tersebut” (Pasal 115. Peralihan ayat 3). Sebelumnya hampir semua koperasi di Vietnam menjalankan usaha simpan pinjam—mirip dengan situasi di Indonesia—walau koperasinya adalah koperasi pertanian. Dengan UU Perkoperasian yang baru, koperasi yang tidak memiliki izin usaha jasa keuangan dilarang menghimpun simpanan dari anggota dan menyalurkan simpanan tersebut sebagai pinjaman kepada anggota yang lain. Anggota harus menempatkan dananya sebagai saham (share atau charter capital, bagian kepemilikan) dan modal ekuitas tersebut digunakan untuk menjalankan usaha koperasi, bukan untuk memberi pinjaman kepada anggota yang lain.

Situasi bergugurannya Koperasi Simpan Pinjam dan pelarangan usaha simpan pinjam oleh koperasi di atas menimbulkan pertanyaan sejauh mana model perusahaan koperasi masih cocok untuk usaha simpan pinjam.

Pada hakekatnya usaha simpan pinjam adalah sama dengan usaha perbankan, yakni mengelola risiko keuangan. Tentu saja ada perbedaan dalam jenis layanan (dapat/diizinkan) untuk diberikan. Ada beberapa tantangan bagi Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi.

Risiko Persaingan Usaha

Kebanyakan usaha simpan pinjam oleh koperasi didirikan untuk mengisi kekosongan layanan keuangan di wilayah tertentu, pada umumnya wilayah perdesaan, yang tidak dapat dijangkau oleh layanan keuangan Perusahaan-Milik-Investor (PMI). Sebelum adanya layanan keuangan digital, Perusahaan bank atau jasa keuangan lainnya tidak bersedia melayani wilayah tertentu karena beban operasionalnya terlalu besar. Namun dengan hadirnya layanan keuangan digital situasi menjadi terbalik. Layanan keuangan dari usaha simpan pinjam oleh koperasi justru beban operasionalnya lebih mahal dibandingkan dengan layanan keuangan dari PMI. Bisa saja koperasi menyediakan layanan keuangan digital, namun mengingat modal sendiri yang jauh lebih kecil, sulit bagi mereka untuk dapat menyaingi layanan  keuangan PMI. Beberapa koperasi berupaya bergabung dalam menyediakan layanan keuangan digital yang memerlukan investasi dan beban operasional yang besar. Saat ini mereka memang masih bisa bertahan. Namun apakah mereka akan mampu bertahan seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang semakin menuntut infrastruktur yang memerlukan modal secara intensif, misalnya untuk pengamanan data transaksi dengan anggota.

Risiko Tata Kelola

Usaha simpan pinjam memerlukan orang-orang dengan keahlian khusus untuk mengelola usahanya, seperti manajemen risiko, manajemen asset dan liabilitas, manajemen protofolio pinjaman, manajemen likuiditas dan sebagainya. Secara umum anggota koperasi bukanlah orang-orang yang memiliki keahlian khusus tersebut. Sementara dalam perusahaan koperasi anggota adalah pemilik dan para pengurusnya harus dipilih dari antara para anggota. Kalau toh ada beberapa orang yang memiliki keahlian tersebut, pada umumnya koperasi membatasi masa jabatannya—berbeda dengan perusahaan milik investor yang tidak membatasi masa jabatan bagi seseorang selama mendapat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Sahamnya, sehingga koperasi harus menyiapkan sejumlah cukup anggota untuk menjadi ahli dalam berbagai bidang tersebut. Di Indonesia mulai tahun 2025 Kementerian Koperasi akan mulai menerapkan Uji Kelayakan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) bagi Pengurus dan Pengawas Koperasi Simpan Pinjam/Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah (KSP/KSPPS) khususnya bagi Koperasi yang termasuk dalam kategori Klasifikasi Usaha Koperasi (KUK) III—yakni KSP/KSPPS memiliki jumlah anggota 10.000-30.000 orang, jumlah Modal Sendiri Rp15-50 miliar rupiah dan/atau jumlah Aset Rp100-500 miliar—dan KUK IV—yakni KSP/KSPPS memiliki jumlah anggota lebi dari 30.000 orang, jumlah Modal Sendiri lebih dari Rp50 miliar rupiah dan/atau jumlah Aset lebih dari Rp500 miliar.

Bisa saja Pengurus mengangkat Pengelola yang memiliki keahlian yang dibutuhkan. Namun dengan model ini muncullah yang disebut persoalan prinsipal-agen (Agent Principal Problem). Karena bentuk badan hukum koperasi pada dasarnya adalah persekutuan orang, maka tanggung jawab pengurusan organisasi dan pengelolaan perusahaan menjadi wewenang dan tanggung jawab Pengurus. Pengelola yang diangkat oleh Pengurus “hanya” menerima sebagai wewenang yang didelegasikan oleh Pengurus, namun Pengurus tetap bertanggung jawab atas semua keputusan dan tindakan pengelola.

Risiko Kurangnya Modal Ekuitas

Adalah suatu keniscayaan dalam usaha simpan-pinjam (perbankan) untuk menambah modal ekuitasnya seiring dengan perkembangan usaha dan asetnya. Salah satu ukuran kesehatan perusahaan keuangan adalah rasio kecukupan modalnya. Suatu bank dianggap sehat apabila rasio kecukupan modalnya adalah 8%. Bahkan menurut system pemantauan kinerja keuangan PEARLS yang ditetapkan the World Council of Credit Unions, Inc. (WOCCU) rasio modal anggota terhadap total asset minimum adalah 10% dan rasio modal lembaga terhadap total asset adalah 10%. Sejauh mana para anggota dapat diminta komitmennya untuk terus menambah modal ekuitasnya? Bisa saja koperasi menetapkan untuk tidak meningkatkan asetnya, namun ini akan menimbulkan tantangan dalam profitabilitas koperasi karena beban operasional akan selalu meningkat seiring dengan inflasi. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/2023 menetapkan Modal Usaha Awal—yakni dana yang harus disediakan oleh Koperasi yang bersifat tetap yang digunakan untuk menanggung risiko kerugian, sehingga harus berasal dari Modal Sendiri atau sumber dana yang memiliki karakteristik sebagai Modal Sendiri—untuk Pendirian KSP sebesar paling sedikit Rp500 juta untuk wilayah keanggotaan dalam daerah kabupaten/kota; paling sedikit Rp1 miliar untuk wilayah keanggotaan lintas daerah kabupaten/kota dalam 1 (satu) daerah provinsi; dan paling sedikit Rp2 miliar untuk wilayah keanggotaan lintas daerah provinsi. Untuk pemenuhan syarat Modal Usaha Awal minimum ini pun diperkirakan sekurangnya 30% KSP/KSPPS tidak dapat memenuhinya sampai batas waktu penyesuaian terakhir tanggal 16 Juni 2025.

Sementara itu dalam perusahaan model koperasi ekuitas dapat turun setiap saat karena anggota diperbolehkan menarik modal ekuitas (di Indonesia menurut UU Perkoperasian No. 25.1992 adalah Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib) yang disetorkannya. Yang lebih parah, sejauh saya ketahui tidak ada koperasi di Indonesia yang memiliki peraturan tentang penarikan modal ekuitas anggota ini. Sehingga apabila suatu saat tersebar berita bahwa suatu koperasi mengalami kesulitan, maka anggota akan berbondong-bondong berhenti sebagai anggota dan menarik modal ekuitasnya.

Langkah Ke Depan

Para Pengurus KSP/KSPPS perlu melihat kembali situasi koperasinya masing-masing, serta mulai menerapkan manajemen risiko atas ketiga risiko di atas. Mau tidak mau dan suka tidak suka Pengurus harus memutuskan kebijakan dan tindakan yang disebutkan dalam Permenkop No. 8/2023 tentang Usaha Simpan Pinjam, yakni melakukan penggabungan, peleburan, pembagian, pemisahan, atau penyehatan usaha kepada KSP/KSPPS; dan/atau pembubaran. Atau, alternatif lain adalah mengubah bentuk badan hukumnya dari koperasi menjadi bentuk hukum Perseroan Terbatas dan mengajukan izin usaha perbankan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *